Anggota National Steering Committee (NSC) DGMI tengah meninjau lokasi demplot tanaman jahe milik Bapak Kadek Ristawan di Banjar Dinas Tamblingan. (YAYASAN WISNU)
Memuliakan air
Hutan di sekitar Danau Tamblingan oleh masyarakat Adat Dalem Tamblingan (ADT) diberi nama Alas Mertajati, sumber kehidupan yang sesungguhnya. Hutan menangkap air kemudian mengalir ke tanah-tanah pertanian dan perkebunan di bawahnya. Masyarakat adat memuliakan air melalui ritual-ritual yang disebut piagem gama tirta. Di kawasan hutan itu pun bertebaran 17 pura atau pelinggih yang semua saling terkait.
Masyarakat adat tadinya bermukim di sekitar hutan dan danau. Ada tiga prasasti yang menguatkan fakta ini, yaitu Suradipa, Ugrasena, dan Udayana. Yang tertua berangka tahun 900 Masehi. Untuk menjaga kesucian dan kelestarian kawasan tersebut, masyarakat adat bermigrasi ke daerah-daerah di bawahnya pada sekitar abad ke-13. Sekarang dikenal sebagai Catur Desa; Desa Gobleg, Desa Munduk, Desa Gesing dan Desa Umejero.
Sebagai penganut Wisnu Waesnawa, masyarakat adat meyakini segala sesuatu diawali dan diakhiri dengan air. Inilah yang mendasari kepentingan menjaga hutan Mertajati sebagai sumber air. Dalam struktur masyarakat adat, ada warga yang disebut sebagai menega, yang mempunyai tugas khusus menjaga hutan (jaga wana) dan menjaga danau (jaga teleng). Menega ditentukan berdasarkan keturunan dan tetap melaksanakan tugasnya secara tradisi sampai sekarang, terutama pada upacara lilitan karya yang dilakukan dua tahun sekali.
Berkas pengajuan penetapan hutan adat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan diantarkan secara langsung oleh perwakilan ADT Catur Desa didampingi perwakilan Yayasan Wisnu dan BRWA (Badan Registrasi Wilayah Adat) pada 26 Februari 2021. Koordinasi dan konsultasi dilakukan dengan Dirjen KSDAE dan Kasi Hutan Adat PSKL. Dukungan pendanaan DGMI kepada Yayasan Wisnu dimanfaatkan untuk memfasilitasi penyiapan dokumen pengajuan, mencakup dokumen peta, inventarisasi hutan, zonasi, serta rencana pengelolaan hutan adat.
Mencukupi kebutuhan pangan keluarga
Sebagian besar masyarakat ADT hidup bergantung pada tanaman cengkeh dan kopi yang panen setahun satu kali. Ini berlangsung sejak tahun 1970-an ketika sebagian besar lahan sawah dialihfungsikan menjadi kebun kopi dan cengkeh. Dengan tanah yang subur, masyarakat tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sayuran. Namun, pemenuhan kebutuhan makanan pokok berkarbohidrat masih harus dibeli dengan pilihan utamanya adalah beras. Alternatif pangan karbohidrat lain belum dimanfaatkan secara optimal. Kaum perempuan dan ibu harus bekerja lebih keras untuk dapat memenuhi kebutuhan harian keluarga. Ditambah lagi, karena sebagian besar lahan menjadi kebun kopi dan cengkeh monokultur, berbagai jenis tanaman upacara hilang, sehingga harus dibeli dan didatangkan dari luar desa, bahkan luar negeri.
Dukungan pendanaan DGMI kepada Yayasan Wisnu juga untuk mendorong kelompok ibu dan perempuan muda mengembangkan usaha pengolahan dan pemasaran berbagai jenis umbi, keladi dan pisang oleh ibu-ibu KWT (Kelompok Wanita Tani); mengembangkan kebun pekarangan keluarga (KPK) aneka jenis sayur dan empon-empon oleh keluarga menega; dan mengembangkan usaha sabun natural oleh perempuan muda.
Pembuatan Kebun Pekarangan Keluarga (KPK) serta pengolahan dan pemasaran berbagai jenis olahan umbi menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan harian, mingguan dan bulanan keluarga. Selama ini sebagian besar masyarakat hidup bergantung pada pendapatan tahunan dari panen cengkeh dan kopi, jenis tanaman yang rentan terhadap cuaca dan perubahan iklim.
Kegiatan membuat demplot kebun pekarangan keluarga mulai dilakukan pada Juli 2020. Dari beberapa pertemuan, sebanyak 22 keluarga menega bersepakat melakukan kegiatan kebun keluarga dengan tanaman bernilai ekonomis dan banyak dibutuhkan pasar, yaitu tanaman empon-empon, terutama jahe merah, jahe emprit, kencur dan kunyit dan beragam jenis sayur yang bisa ditanam di pekarangan rumah dengan media polybag atau pot, seperti sayur hijau, tomat dan pokcai.
Mendorong pertanian organik
Risiko lingkungan yang utama dari aktivitas pertanian masyarakat adalah pencemaran input kimia pertanian (pupuk dan pestisida). Kebiasaan warga petani meningkatkan hasil panen secara instan belum seutuhnya bisa diubah. Pemakaian bahan kimia terlalu menggiurkan bagi petani karena reaksi yang lebih cepat pada tanaman.
Kegiatan mendorong pertanian organik dengan para menega dimulai dengan diskusi tentang bahaya pupuk kimia di masa depan. Tumpukan residu kimia akan merusak kesehatan tanah dan kemurnian air tanah. Harapan perubahan ke arah yang lebih baik dimulai dengan para menega mengembangkan kebun pekarangan keluarga. Selain ketersediaan bibit dan pengolahan pasca panen empon-empon, para menega membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan membut pupuk organik. Kegiatan penyediaan dan pembuatan pupuk organik serta pengolahan lahan demplot dilakukan mulai Agustus 2020, sedangkan kegiatan penanaman dilakukan pada mulai Oktober-November 2020.
Kegiatan penting lain yang dilakukan yakni memberikan pengetahuan dan ketrampilan menggunakan pupuk hayati dekomposer (MOL; mikro organisme lokal) yang berfungsi memaksimalkan kerja bakteri dalam mengurai bahan organik. Dengan decomposer tersebut, petani mendapatkan dua jenis pupuk, yakni padat dan cair. Kegiatan dimulai dengan pertemuan-pertemuan dengan menega yang seluruhnya adalah petani namun bekerja sampingan mengantar pengunjung yang ingin berkeliling danau dengan menaiki perahu tradisonal, pedau.
Setelah mendapat gambaran dan wawasan tentang pertanian organik berikut alasan ekologi yang masuk akal, para keluarga menega bersepakat hanya akan menggunakan pupuk non kimia di dalam berkebun. Kemudian, petani membuat seketsa kebun disesuaikan dengan ketersediaan lahan setiap keluarga dan dilanjutkan dengan pemeriksaan pH tanah dan menyiapkan pupuk padat untuk pupuk dasar dan pupuk cair untuk perawatan. Pupuk kompos pertama didatangkan dari luar sebelum para menega dapat menghasilkan pupuk sendiri. Pengolahan lahan dilakukan dengan membuat bedengan dan juga mengisi polybag. Setelah media tanam siap, dilakukan penanaman, perawatan (penyiangan, penyemprotan hama kutu putih dan ulat) dan pemupukan. Kini pupuk cair dan pestisida alami sudah dapat dihasilkan sendiri oleh petani sebagai hasil pelatihan yang mereka dapatkan.
Hasil-hasil kegiatan pertanian organik diantaranya:
Hasil panen yang didapatkan dari pertanian organik tidak sebanyak ketika memakai pupuk kimia. Bisa dikatakan hasilnya masih rendah. Namun, ini baru langkah permulaan. Untuk menyehatkan tanah yang sebelumnya terbiasa memakai bahan kimia bertahun-tahun tidaklah gampang. Dibutuhkan waktu hingga 8 tahun, barulah tanah akan mencapai pemulihan yang maksimal.